NEWS & FEATURES / HOT TOPICS - ARTIKEL
Jumat, 16 Agustus 2013 | 10:03 WIB
Dibaca: 212
Komentar: 0

shutterstock
Kompas.com - Indonesia akhirnya akan segera meratifikasi kesepakatan pengendalian perdagangan rokok yang disebut Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Conventon on Tobacco Control/FCTC).
FCTC merupakan konvensi yang dirancang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), berisi sejumlah langkah pengendalian dampak buruk rokok, baik dalam bentuk tarif maupun nontarif. Indonesia merupakan satu-satunya negara ASEAN yang belum menandatangani FCTC.
Sebanyak 172 negara telah menandatangani FCTC. Di antara negara berpenduduk dan penghasil tembakau terbesar, hanya Indonesia yang belum menandatangani. Negara lain yang belum menandatangani, antara lain Andora, Eritrea, Monako, Somalia, Turkmenistan, Zimbabwe.
"Kita sudah minta izin ke Presiden melalui menteri luar negeri untuk ratifikasi FCTC," kata Menteri Kesehtan Nafsiah Mboi di Jakarta, Kamis (15/8).
Nafsiah mengatakan, pertemuan dengan industri rokok juga dilakukan untuk membahas rencana kesepakatan tersebut. Padahal, Indonesia sebenarnya sudah ingin melakukan ratifikasi sejak lama tetapi beredar kabar kuatnya lobi industru rokok membuat pemerintah menunda menandatangani kesepakatan tersebut.
Nafsiah optimis industri rokok tidak akan menolak FCTC karena dalam kesepakatan itu tidak dilarang produksi rokok. Yang diatur terutama mengenai pembatasan penjualan dan promosi rokok.
Rencaa pemerintah tersebut disambut positif oleh anggota DPR. Nova Riyanti Yusuf, wakil ketua komisi IX DPR mengatakan, pemerintah Indonesia sudah seharusnya ikut menandatangi FCTC karena Indonesia adalah negara yang ikut menyusun FCTC.
"Aneh sekali kita menjadi penyusun tapi justru belum melaksanakan ataupun menandatangani," Nova.
Pemerintah, kata Nova harus bersikap lebih konsisten dan mempertanggungjawabkan ide yang dilontarkan. Ide ini harus dilaksanakan dengan mencari jalan tengah antara industri dan kepentingan kesehatan rakyat. Kegagalan mencari jalan tengah, menandakan kemiskinan ide mencari solusi. "Saya tunggu penjelasan Menkes dengan komisi IX. Termasuk tentang izin ke presiden terkait aksesi FCTC," katanya.
FCTC merupakan konvensi yang dirancang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), berisi sejumlah langkah pengendalian dampak buruk rokok, baik dalam bentuk tarif maupun nontarif. Indonesia merupakan satu-satunya negara ASEAN yang belum menandatangani FCTC.
Sebanyak 172 negara telah menandatangani FCTC. Di antara negara berpenduduk dan penghasil tembakau terbesar, hanya Indonesia yang belum menandatangani. Negara lain yang belum menandatangani, antara lain Andora, Eritrea, Monako, Somalia, Turkmenistan, Zimbabwe.
"Kita sudah minta izin ke Presiden melalui menteri luar negeri untuk ratifikasi FCTC," kata Menteri Kesehtan Nafsiah Mboi di Jakarta, Kamis (15/8).
Nafsiah mengatakan, pertemuan dengan industri rokok juga dilakukan untuk membahas rencana kesepakatan tersebut. Padahal, Indonesia sebenarnya sudah ingin melakukan ratifikasi sejak lama tetapi beredar kabar kuatnya lobi industru rokok membuat pemerintah menunda menandatangani kesepakatan tersebut.
Nafsiah optimis industri rokok tidak akan menolak FCTC karena dalam kesepakatan itu tidak dilarang produksi rokok. Yang diatur terutama mengenai pembatasan penjualan dan promosi rokok.
Rencaa pemerintah tersebut disambut positif oleh anggota DPR. Nova Riyanti Yusuf, wakil ketua komisi IX DPR mengatakan, pemerintah Indonesia sudah seharusnya ikut menandatangi FCTC karena Indonesia adalah negara yang ikut menyusun FCTC.
"Aneh sekali kita menjadi penyusun tapi justru belum melaksanakan ataupun menandatangani," Nova.
Pemerintah, kata Nova harus bersikap lebih konsisten dan mempertanggungjawabkan ide yang dilontarkan. Ide ini harus dilaksanakan dengan mencari jalan tengah antara industri dan kepentingan kesehatan rakyat. Kegagalan mencari jalan tengah, menandakan kemiskinan ide mencari solusi. "Saya tunggu penjelasan Menkes dengan komisi IX. Termasuk tentang izin ke presiden terkait aksesi FCTC," katanya.
Lusia Kus Anna
Ada 0 Komentar Untuk Artikel Ini.
Kirim Komentar Anda
Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait artikel yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan KOMPAS.com dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.
Pembaca dapat melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. KOMPAS.com akan menimbang setiap laporan yang masuk dan dapat memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.
KOMPAS.com berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
Pembaca dapat melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. KOMPAS.com akan menimbang setiap laporan yang masuk dan dapat memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.
KOMPAS.com berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
0 comments:
Post a Comment