NEWS & FEATURES / HOT TOPICS - ARTIKEL
Penulis : Rosmha Widiyani | Rabu, 18 September 2013 | 07:55 WIB
Dibaca: 12
Komentar: 0

AFP PHOTO / ADE SINUHAJI
Warga berhamburan keluar rumah ketika abu vulkanik letusan Gunung Sinabung menutupi langit di Kabupaten Karo, Sumut, Selasa, 17 September 2013. Gunung kembali meletus pada pukul 12.03. Status gunung Siaga III.
KOMPAS.com-Korban erupsi gunung berapi harus berhati-hati. Erupsi yang memuntahkan sejumlah mineral baik dalam bentuk lava maupun abu berpotensi mengganggu pernapasan. Gangguan ini dapat dialami semua umur. Namun populasi yang paling rentan mengalami gangguan adalah anak-anak, orang tua, dan penderita gangguan paru. Gangguan juga rentan diderita korban yang berlokasi dekat dengan erupsi.
"Semakin dekat maka korban semakin lama terpapar abu vulkanik. Makin banyak yang terhirup risiko gangguan semakin besar, apalagi jika abu masih panas," kata ahli paru dari RS Persahabatan, dr. Agus Santoso Sp.P ketika dihubungi pada Selasa (17/9/2013).
Lebih lanjut, Agus menerangkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya gangguan dialami. Faktor ini antara lain konsentrasi partikel, proporsi yang terhirup, dan kondisi meteorologi. Korban yang berdiri sesuai arah angin saat muntahan abu vulkanik, kemungkinan menghirup lebih banyak dibanding yang berlokasi melawan arah angin.
Agus menambahkan, dampak abu juga ditentukan partikel pendukung lain. Abu yang disertai kristal silika memiliki dampak merusak gangguan pernapasan paling berat. Sementara, abu vulkanik yang disertai hawa panas menyebabkan gangguan piroklastik. Gangguan ini bisa menyebabkan kematian, karena luka bakar pada saluran pernapasan. Abu vulkanik lain yang patut diwaspadai adalah yang disertai gas CO, H2S, SO2, dan bersifat asam.
Dampak abu vulkanik, lanjut Agus, terbagi menjadi efek akut dan kronik. Efek akut terbagi menjadi iritasi saluran napas, infeksi saluran napas akut (ISPA), atau kesulitas napas pada penderita gangguan paru sebelumnya. Sedangkan efek kronik terjadi setelah paparan bertahun-tahun. Hal ini ditandai adanya penumpukan abu silika dalam paru, yang disebut silikosis. Penderita akan mengalami penurunan fungsi paru dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Kendati begitu, efek merugikan tersebut bisa dicegah.
"Gunakan masker. Jika memungkinkan gunakan masker kategori N 95-N 100," kata Agus. Masker tersebut mencegah masuknya abu yang berukuran kurang dari 10 mikron.
Bila terlanjur terpapar, Agus menyarankan secepatnya ke fasilitas kesehatan terdekat. Untuk efek akut bisa diatasi dengan obat batuk, pengurang sesak, pengencer dahak, atau radang. Pemeriksaan sederhana yang dilakukan adalah pengukuran menggunakan peakflow. Alat ini mengukur puncak udara keluar dari paru-paru. Sedangkan untuk paparan yang lebih lama, biasanya diperlukan rontgen paru.
Walau begitu Agus menyarankan para korban tidak perlu khawatir. Karena, hanya abu berukuran kurang dari 10 mikron yang bisa mengganggu pernapasan. Sedangkan saluran pernapasan bawah, hanya bisa ditembus debu berukuran kurang dari 5 mikron.
"Yang penting gunakan selalu masker dan secepatnya ke fasilitas kesehatan, bila merasa ada gangguan di pernapasan," kata Agus.
"Semakin dekat maka korban semakin lama terpapar abu vulkanik. Makin banyak yang terhirup risiko gangguan semakin besar, apalagi jika abu masih panas," kata ahli paru dari RS Persahabatan, dr. Agus Santoso Sp.P ketika dihubungi pada Selasa (17/9/2013).
Lebih lanjut, Agus menerangkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya gangguan dialami. Faktor ini antara lain konsentrasi partikel, proporsi yang terhirup, dan kondisi meteorologi. Korban yang berdiri sesuai arah angin saat muntahan abu vulkanik, kemungkinan menghirup lebih banyak dibanding yang berlokasi melawan arah angin.
Agus menambahkan, dampak abu juga ditentukan partikel pendukung lain. Abu yang disertai kristal silika memiliki dampak merusak gangguan pernapasan paling berat. Sementara, abu vulkanik yang disertai hawa panas menyebabkan gangguan piroklastik. Gangguan ini bisa menyebabkan kematian, karena luka bakar pada saluran pernapasan. Abu vulkanik lain yang patut diwaspadai adalah yang disertai gas CO, H2S, SO2, dan bersifat asam.
Dampak abu vulkanik, lanjut Agus, terbagi menjadi efek akut dan kronik. Efek akut terbagi menjadi iritasi saluran napas, infeksi saluran napas akut (ISPA), atau kesulitas napas pada penderita gangguan paru sebelumnya. Sedangkan efek kronik terjadi setelah paparan bertahun-tahun. Hal ini ditandai adanya penumpukan abu silika dalam paru, yang disebut silikosis. Penderita akan mengalami penurunan fungsi paru dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Kendati begitu, efek merugikan tersebut bisa dicegah.
"Gunakan masker. Jika memungkinkan gunakan masker kategori N 95-N 100," kata Agus. Masker tersebut mencegah masuknya abu yang berukuran kurang dari 10 mikron.
Bila terlanjur terpapar, Agus menyarankan secepatnya ke fasilitas kesehatan terdekat. Untuk efek akut bisa diatasi dengan obat batuk, pengurang sesak, pengencer dahak, atau radang. Pemeriksaan sederhana yang dilakukan adalah pengukuran menggunakan peakflow. Alat ini mengukur puncak udara keluar dari paru-paru. Sedangkan untuk paparan yang lebih lama, biasanya diperlukan rontgen paru.
Walau begitu Agus menyarankan para korban tidak perlu khawatir. Karena, hanya abu berukuran kurang dari 10 mikron yang bisa mengganggu pernapasan. Sedangkan saluran pernapasan bawah, hanya bisa ditembus debu berukuran kurang dari 5 mikron.
"Yang penting gunakan selalu masker dan secepatnya ke fasilitas kesehatan, bila merasa ada gangguan di pernapasan," kata Agus.
Editor :
Asep Candra
Ada 0 Komentar Untuk Artikel Ini.
Kirim Komentar Anda
Pembaca dapat mengirimkan komentar terkait artikel yang ditayangkan. Isi komentar bukan merupakan pandangan, pendapat ataupun kebijakan KOMPAS.com dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.
Pembaca dapat melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. KOMPAS.com akan menimbang setiap laporan yang masuk dan dapat memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.
KOMPAS.com berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
Pembaca dapat melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. KOMPAS.com akan menimbang setiap laporan yang masuk dan dapat memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.
KOMPAS.com berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
0 comments:
Post a Comment